kaltimkece.id Duduk perkara dugaan korupsi yang menjerat Bupati Kutai Timur Ismunandar terang benderang. Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan, hadiah atau janji yang diterima bupati mencapai Rp 6,17 miliar. Tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Bupati Ismunandar, ketua DPRD Kutim —sekaligus istri bupati— Encek Unguria Riarinda Firgasih, tiga kepala dinas di lingkungan pemkab, dan dua rekanan.
Jumat malam, 3 Juli 2020, komisi antirasuah mengadakan konferensi pers mengenai perkara ini. Hadir memberikan penjelasan, wakil ketua KPK Nawawi Pomolango didampingi juru bicara KPK Ali Fikri, dan deputi penindakan KPK Karyoto.
Sebermula dari laporan masyarakat, KPK menyadap sejumlah orang untuk mendalami aduan tersebut. Setelah informasi lengkap, dua tim KPK diturunkan ke Jakarta dan Sangatta, ibu kota Kutim, pada Kamis, 2 Juli 2020. Ketika tengah hari pukul 12.00 WIB, Encek Firgasih, Kepala Badan Pendapatan Daerah Kutim berinisial Mus, dan DF selaku staf Bapenda, tiba di Jakarta. Ketiganya mengikuti sosialisasi Ismunandar sebagai bakal calon bupati.
Ismunandar menyusul ke ibu kota empat setengah jam kemudian ketika hari sudah sore. Bupati ditemani seorang ajudan berinisial AW. Bupati dan ketua DPRD alias pasangan suami-istri ini lantas berkumpul di sebuah restoran di kawasan Senayan, Jakarta, pada pukul 18.44 Wita. Di sinilah bupati, ketua DPRD, kepala Bapenda, DF selaku staf Bappenda, dan AW sebagai ajudan, diamankan dalam operasi tangkap tangan KPK.
Hadiah Total Rp 6,17 Miliar
Dalam penangkapan tersebut, KPK menemukan uang tunai sebesar Rp 170 juta. Ada pula buku tabungan dengan rekening berisi Rp 4,8 miliar. Seturut itu pula, sebuah sertifikat deposito Rp 1,2 miliar. Jika ditotal, seluruhnya bernilai Rp 6,17 miliar.
Uang itu disebut sebagai hadiah atau janji dari sejumlah pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemkab Kutim. KPK menyebutkan beberapa di antaranya. Pertama, proyek pembangunan embung di Desa Maloy Rp 8,3 miliar; kemudian pembangunan rumah tahanan Polres Kutim Rp 1,7 miliar; dan pembangunan jalan poros Rantau Pulung Rp 9,6 miliar. Ada pula pembangunan kantor Polsek Teluk Pandan Rp 1,8 miliar; optimalisasi pipa air bersih Rp 5,1 miliar; dan sarana penerangan Jalan APT Pranoto Rp 1,9 miliar. Selanjutnya adalah sejumlah proyek di Dinas Pendidikan pada tahun anggaran 2019 sebesar Rp 40 miliar.
Dari seluruh proyek tersebut, Bupati disebut menerima hadiah sebesar 10 persen dari nilai kontrak. Beberapa di antaranya diberikan oleh rekanan berinisial AM sebesar Rp 550 juta. Sementara dari DA, rekanan yang lain, sebesar Rp 2,1 miliar. Ada pula aliran dana dari rekening Mus selaku kepala Bapenda dengan perincian rekening Bank Syariah Mandiri Rp 400 juta, Bank Mandiri Rp 900 juta, dan Bank Mega Rp 800 juta.
Aliran uang bertajuk hadiah juga mengalir untuk membiayai keberangkatan Bupati dan kolega ke Jakarta. Pada 23-30 Juni 2020, KPK menemukan aliran dana dari Mus kepada Ismunandar sebesar Rp 510 juta. Uang ini disebut untuk pembayaran mobil Isuzu Elf yang dibeli di Samarinda.
“Termasuk THR (tunjangan hari raya) pada 19 Mei sebesar Rp 100 juta masing-masing untuk ISM (Bupati), EU (ketua DPRD), Mus (kepala Bapenda), Sur (kepala BPKAD), dan ASW (Kepala Dinas PU),” terang Nawawi.
Yang juga menarik, KPK menduga ada aliran Rp 125 juta yang disebut untuk membiayai kampanye Bupati. Dalam pilkada serentak 2020, Ismunandar adalah bakal calon bupati berstatus petahana.
Peran Para Tersangka
Sebagai penerima hadiah, KPK menetapkan lima tersangka dalam dugaan permufakatan jahat ini. Selain bupati dan istrinya, ada Kepala Bapenda Kutim (Mus), Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (Sur), dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (ASW).
Dalam kesimpulannya, KPK mendapati peran kelima tersangka dalam mengumpulkan hadiah proyek tersebut. Ismunandar sebagai bupati ditengarai memberikan jaminan tidak ada pemotongan anggaran terhadap proyek-proyek yang dimaksud. Istrinya, Encek Firgasih selaku ketua DPRD, berperan mengintervensi pemenang tender. Adapun Mus sebagai kepala Bapenda adalah orang kepercayaan Bupati yang ikut dalam mengintervensi pemenang tender. ASW sebagai kepala Dinas PU kebagian peran membagi jatah proyek kepada para rekanan. Yang terakhir, Sur selaku kepala BPKAD punya tugas mengatur penerima 10 persen hadiah tadi.
KPK menyimpulkan, perbuatan menerima hadiah atau janji tersebut melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Persisnya, pasal 12 ayat 1 huruf b atau pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001. Sementara para pemberi, yakni AM dan DA selaku rekanan, dijerat pasal berlapis dari UU yang sama dan KUHP. (*)