kaltimkece.id Meskipun masa pemerintahannya baru berakhir pada 18 Desember 2018, Gubernur Awang Faroek Ishak telah meletakkan jabatan terhitung 20 September 2018. Pilihan maju sebagai calon legislatif DPR RI membuatnya harus mundur sebagai gubernur. Ini adalah kali ketiga Faroek tidak menyelesaikan masa jabatan sebagai kepala daerah.
Pertama kali adalah pada 2003. Faroek masih menjabat bupati Kutai Timur ketika harus mundur karena mengikuti kontestasi pemilihan gubernur. Dalam pilgub yang saat itu masih dilaksanakan di DPRD Kaltim, Faroek kalah suara dari Suwarna Abdul Fatah. Kepemimpinannya di Kutai Timur digantikan wakilnya, Mahyuddin, kini wakil ketua MPR RI.
Pada 2005, Faroek kembali memimpin Kutai Timur melalui pemilu kepala daerah secara langsung. Sama seperti periode sebelumnya, dia maju dalam Pilgub Kaltim 2008. Namun, untuk mengikuti pilgub langsung pertama di Kaltim, Faroek tidak perlu mundur sebagai bupati. Dia baru meninggalkan jabatan tersebut ketika dilantik sebagai gubernur pada 18 Desember 2018. Lagi-lagi, wakilnya di Kutim, Isran Noor, yang melanjutkan kepemimpinan. Sekarang Isran adalah gubernur Kaltim terpilih yang segera dilantik menggantikan Faroek.
Hari ini, tiga bulan menjelang masa jabatan periode keduanya selesai, Faroek kembali mundur. Hal itu sesuai undang-undang pemilu yang mewajibkan kepala daerah untuk mundur jika mengikuti Pemilu Legislatif 2019. Dalam usia 70 tahun, Faroek maju dalam perebutan kursi di Senayan melalui Partai Nasional Demokrat.
Pencapaian dan Prestasi
Sepuluh tahun duduk sebagai orang nomor satu di Kaltim, Awang Faroek menorehkan beberapa pencapaian. Di bidang reformasi birokrasi, Faroek berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publik berbasis teknologi informasi (e-governance). Di bidang perizinan, Pemprov Kaltim meluncurkan One Data One Map. Program ini berhasil melenyapkan tumpang tindih peta di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan pertanian. One Data One Map menjadi terobosan di Indonesia sehingga diganjar penghargaan nasional tiga tahun berturut-turut sejak 2014.
Kelahiran Provinsi Kalimantan Utara dan Kabupaten Mahakam Hulu juga tidak lepas dari andil Awang Faroek. Dia juga berhasil meredam konflik horizontal di Tarakan dan Kutai Barat (Derap Langkah Pembangunan Kaltim, 2018, hlm 11-15).
Di sektor infrastruktur, Awang Faroek menetapkan sejumlah proyek strategis. Satu yang paling dinanti penyelesaiannya adalah jalan tol Balikpapan–Samarinda. Jalan tol diperkirakan beroperasi pada 2019 dan menjadi yang pertama di Kalimantan. Faroek juga berhasil menyelesaikan pembangunan Bandara Internasional Aji Pangeran Tumenggung Pranoto di Samarinda. Sepanjang pemerintahannya pula, landasan pacu tiga bandara perintis di perbatasan Kaltim dan Kaltara diperpanjang.
Pencapaian berikutnya adalah di sektor pendidikan. Beasiswa Kaltim Cemerlang adalah yang paling menonjol. Sejak diberikan pada 2009, beasiswa diterima 205.951 pelajar maupun mahasiswa dengan total anggaran Rp 1,1 triliun (hlm 111). Pencapaian lain adalah di bidang kesehatan. Di bawah pemerintahan Faroek, RSUD AW Sjahranie menjadi rumah sakit rujukan nasional tipe A. Pertama di luar jawa, rumah sakit ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas medis modern.
Masih banyak ragam prestasi Kaltim di bawah pemerintah Awang Faroek. Sedari keikutsertaan provinsi dalam gerakan perubahan iklim dunia hingga upaya transformasi ekonomi. Demikian halnya di bidang olahraga, Kaltim menjadi salah satu kekuatan utama nasional selepas menjadi tuan rumah PON 2008.
Peristiwa Penting
Sebuah kabar tersiar pada Jumat, 3 Oktober 2014. Gubernur Kaltim dikabarkan tergeletak di ruang intensive care unit, ICU, Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie. Hari itu segera mengubah kehidupan Awang Faroek. Pada awalnya, Faroek disebut terserang bell’s palsy, penyakit yang menyerang saraf otot wajah. Beberapa saat kemudian, gubernur disebut diserang stroke ringan.
Dampak yang harus dihadapi adalah gubernur kesulitan berbicara. Setelah keluar dari rumah sakit, Faroek sempat seperti orang gagap. Beberapa kata dalam kalimatnya terdengar tak jelas. Setelah melewati sejumlah terapi, kesukaran berbicara dapat diatasi. Meski demikian, dampak terberat adalah duduk di kursi roda. Dari sepuluh tahun menjadi gubernur, Faroek melewati empat tahun di atas kursi roda.
“Saya masih bisa bekerja. Jenderal Sudirman saja bisa memimpin peperangan dari atas tandu. Saya ‘kan hanya dari kursi roda,” kata Gubernur kepada sejumlah wartawan, ketika pertama kali tampil di muka publik dengan kursi rodanya. Faroek sebenarnya hanya kesulitan berjalan. Dia masih bisa berdiri. Dalam banyak kesempatan, lelaki kelahiran Tenggarong, 31 Juli 1948 ini berusaha berdiri dengan kedua tungkai meskipun hanya untuk foto bersama. Menurut pengakuannya, dia pernah memaksa berdiri saat berpidato. Namun, tim dokter khawatir akan hal tersebut.
Peristiwa penting yang lain dimulai pada Jumat, 9 Juli 2010. Gubernur ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan korupsi 5 persen saham divestasi Kaltim Prima Coal atau KPC. Perbuatan yang disangkakan itu terjadi ketika Faroek masih menjabat sebagai bupati Kutai Timur. Ini adalah kali kedua Faroek tersangkut persoalan korupsi. Pada 2007, setahun sebelum Pilgub 2008, ayah tiga anak itu sering dikaitkan dengan dugaan rasuah pembangunan kompleks perkantoran Pemkab Kutai Timur, Bukit Pelangi. Dalam kasus itu, Faroek tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka. Isu itu disebut bagian dari politik jelang Pilgub 2008.
Berbeda dalam kasus divestasi 5 persen saham KPC, Faroek ditetapkan sebagai tersangka setelah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan keluar. Ia diduga menyelewengkan hasil divestasi sebesar Rp 576 miliar. Sebagai bupati, Kejaksaan Agung menuduh, Faroek tidak mencatatkan kepemilikan saham di kas Pemkab Kutim sesuai frame work agreement.
Dalam laporannya berjudul Awang Faroek Jadi Tersangka Korupsi (2010), Tempo menulis bahwa 5 persen saham golden share diberikan kepada PT Kutai Timur Energi, perusahaan daerah milik pemkab. Saham kemudian dijual kepada anak perusahaan, PT Kutai Timur Sejahtera. Dalam perjalanannya, dana diinvestasikan di Samuel Securities sebesar Rp 480 miliar serta di PT CTI sebesar Rp 72 miliar. Audit BPK menyatakan, langkah investasi itu tidak bijak.
“Itu (menjadi tersangka) adalah salah satu bagian paling pahit dalam hidup saya,” terang Faroek kepada wartawan, jelang masa jabatannya berakhir. Pada saat menjadi tersangka Kejaksaan Agung, dia telah berkali-kali membantah keterlibatannya. Faroek menyatakan, saham divestasi dijual setelah dia tidak menjabat sebagai bupati lagi.
Kasus ini akhirnya ditutup pada 2013. Kejaksaan Agung menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara atau SP3. Status tersangka yang melekat selama tiga tahun pun pupus. SP3 dari Kejaksaan Agung sekaligus membersihkan nama Awang Faroek.
Kontroversi-Kontroversi
Di antara prestasi dan peristiwa penting yang dilewati Awang Faroek, terselip sejumlah kontroversi. Kebijakan pertama yang mengundang silang pendapat adalah pengajuan nama Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan.
Pada Januari 2014 atau sebulan setelah dilantik untuk periode kedua, Gubernur mengusulkan nama Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Dasar usulan itu adalah bentuk penghormatan kepada leluhur dan adat istiadat di tanah Kaltim. Faroek juga menyatakan, Balikpapan dulunya merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Kutai sebagaimana ditulis Kompas dalam artikel bertajuk Gubernur Kaltim “Ngotot” Ganti Nama Bandara Sepinggan (2014).
Kebijakan itu sempat menuai gejolak. Pada akhirnya, nama lapangan udara tetap diganti dengan mempertahankan kata “Sepinggan.” Nama bandara pun kini menjadi Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan.
Kebijakan yang menimbulkan kontroversi berikutnya dalam hal Rumah Sakit Islam, RSI, Samarinda. Pada 2017, Gubernur meminta agar operasi RSI digabung dengan RSUD AW Sjahranie. Selain itu, aset RSI yang selama ini dikelola Yayasan Rumah Sakit Islam disebut milik pemprov. Operasi rumah sakit sempat terhenti beberapa bulan. Sampai hari ini, polemik tersebut belum menemui jalan keluar.
Kontroversi yang juga belum berujung adalah pembangunan masjid Pemprov Kaltim di Lapangan Kinibalu. Sejak awal, masyarakat sekitar menolak pembangunan rumah ibadah yang digagas gubernur dengan nilai proyek Rp 64 miliar tersebut. Namun, atas persetujuan DPRD Kaltim, anggaran pembangunan ditetapkan. Hari ini, penolakan warga makin keras setelah mengetahui pekerjaan proyek tidak dilengkapi izin mendirikan bangunan. (*)
Dilengkapi oleh: Fachrizal Muliawan