Oleh: Muhammad Sarip, penulis buku Histori Kutai
kaltimkece.id Akhir Ramadan yang juga bertepatan dengan akhir Maret 2025, saya menerima informasi perihal postingan di Facebook yang dianggap kontroversial. Judulnya, "Kutai Kartanegara Didirikan oleh Orang Jawa (Shingasari)." Teks tersebut ditulis dengan huruf kapital semua. Akun yang bernama Setitik Info yang menerbitkan postingan itu.
Saya cek postingannya. Teksnya memang kontroversial. Sebagian besar mengada-ada. Tidak ada keterangan person atau tim yang menulisnya. Referensi juga tidak dicantumkan. Saya memilih untuk tidak berkomentar di postingan tersebut karena ketidaklayakannya sebagai bahan diskursus.
Pada hari ke-5 Syawal 1446 Hijriah, seorang kawan sejarawan dari Bengkulu menandai (tag) nama saya di postingan itu. Saya meresponsnya sebagai sebuah apresiasi dengan komentar, "Sejumlah postingan dari akun ini, khususnya tentang sejarah di Kalimantan, terlalu mengada-ada. Jadi, lebih baik skip aja akun ini ketimbang ngabisin baterai."
Hari berikutnya lagi, seorang kawan penulis mengirimkan empat bahan diskursus kepada saya. Pertama, jika tidak dijelaskan dengan baik, narasi bahwa Kerajaan Kutai didirikan orang Jawa bisa lebih dipercaya ketimbang didirikan oleh titisan dewa. Kedua, perlunya memverifikasi garis waktu antara berdirinya Kerajaan Kutai Kertanegara dengan peristiwa Kediri menyerang Singasari.
Bahan diskursus ketiga yaitu mengenai tudingan bahwa penyerangan atau invasi sebuah kerajaan ke kerajaan yang lain adalah perangai khas monarki-monarki di Pulau Jawa, bukan Kalimantan. Tudingan ini muncul karena Kerajaan Kutai Kertanegara (yang disebut didirikan pelarian Singasari) pernah menyerang dan menaklukkan Martadipura (yang valid Martapura). Lagi pula, beberapa argumen di bagian komentar postingan itu bilang, kerajaan-kerajaan Kalimantan jarang sekali menginvasi kerajaan di sekitarnya. Berau bisa dijadikan contoh. Ketika terjadi perebutan takhta di kesultanan tersebut, mereka mendirikan Kesultanan Sambaliung dan Gunung Tabur alih-alih berperang.
Keempat sekaligus terakhir, tentang pendapat bahwa Majapahit lebih menyukai Kutai Kertanegara daripada Martapura karena raja Kutai Kertanegara adalah keturunan raja-raja Singasari selayaknya Majapahit. Pendapat ini muncul dari sebuah peristiwa sejarah yaitu sewaktu raja Kutai Kertanegara bersama raja Martapura belajar ke Majapahit.
Baca juga: Keliru Panjang di Buku Pelajaran, Kerajaan Tertua di Nusantara Bernama Martapura, Bukannya Kutai
Sebelum membahas empat bahan diskursus itu, kita perlu melihat dahulu klaim akun Setitik Info yang menyebutkan bahwa Aji Batara Agung Dewa Sakti (selanjutnya disingkat ABADS) adalah bangsawan Singasari. Bangsawan itu, masih menurut postingan, melarikan diri dari Pulau Jawa akibat diburu pengikut Jayakatwang yang belakangan menjadi Raja Kediri. Serangan yang dipimpin Jayakatwang ke Singasari disebut menyebabkan ABADS pergi ke Kalimantan bagian timur lalu mendirikan Kerajaan Kutai Kertanegara.
Berdasarkan fakta sejarah yang bersumber dari Nagarakretagama, Singasari sedang dipimpin Raja Kertanegara saat diserang Jayakatwang yang berstatus sebagai raja Gelang-Gelang. Time line-nya adalah tahun 1292. Militer Singasari rupanya tidak siap menghadapi pemberontakan dari bawahannya. Prabu Kertanegara gugur di tangan Jayakatwang. Anak, menantu, dan keluarga Kertanegara kemudian meminta amnesti dari Jayakatwang sehingga tidak turut menjadi korban jiwa.
Jayakatwang kemudian menjadi Raja Kediri. Adapun menantu Kertanegara yang bernama Raden Wijaya lantas membuka hunian di sebuah hutan yang ia beri nama Majapahit. Setahun kemudian, komunitas Raden Wijaya ini bersekutu dengan pasukan Tartar yang dikirim Kaisar Kubilai Khan dari Mongol ke Jawa untuk menyerang Jayakatwang. Wijaya menang. Jayakatwang kalah dan dihukum mati. Namun, tentara Mongol juga dipecundangi Wijaya, dihabisi dan sebagian mereka kabur. Pada momentum itulah, Majapahit berdiri sebagai sebuah kerajaan (Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, 2006: 116-125).
Lantas, di mana posisi ABADS saat itu? Sumber sejarah Singasari dan Majapahit, secara implisit maupun eksplisit, tidak mengisahkan adanya bangsawan Singasari yang melarikan diri ke Kalimantan saat pemberontakan Jayakatwang. Yang ada, siasat amnesti dan pernyataan pengabdian kepada Jayakatwang supaya selamat.
Perlu pula menengok sumber utama sejarah Kutai Kertanegara yaitu kitab aksara Arab Melayu Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Manuskrip historiografi tradisional yang sering disebut Salasilah Kutai ini mendeskripsikan figur ABADS dengan narasi mitologis. Bayi ABADS diturunkan dari langit dengan suara gaib (supernatural voice) sebagai titisan dewata. Tidak ada time line atau penanggalan peristiwa tersebut (Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, 1849: 1-5).
Beberapa orang menolak dengan ekstrem historiografi tradisional sebagai sumber sejarah. Namun, Salasilah Kutai telah melalui proses verifikasi sehingga cukup valid dirujuk sebagai referensi sejarah. Verifikasinya juga ketat, termasuk harus menginterpretasikan kisah mitologis bayi ABADS dari kayangan menjadi peristiwa sejarah (Studi Historiografi Naskah Arab Melayu Salasilah Kutai, 2021, 33-45).
Interpretasi tersebut adalah bahwa bayi dari langit merupakan simbol dari tingginya status sosial atau kebangsawanan sang anak. Dapat dimaknai bahwa ia merupakan sosok keturunan kasta kesatria. Sejarawan Onghokham menyatakan, konsepsi bahwa raja adalah titisan Tuhan dalam arti spiritual merupakan teori politik tradisional yang berbasis kepada kebudayaan Hindu (Rakyat dan Negara, 1983: 61).
Asal kemunculan dari kayangan juga bisa bermakna dari luar daerah. Namun demikian, Salasilah Kutai menghikayatkan ABADS lahir di Kalimantan, bukan di Pulau Jawa. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa ia adalah anak dari diaspora tetapi dilahirkan di Kalimantan. Salasilah Kutai memberikan clue bahwa kerajaan yang didirikan oleh ABADS dinamainya Kutai Kertanegara. Nama Kertanegara ini identik dengan nama raja terakhir Singasari yang dikalahkan Jayakatwang tadi. Raja Kertanegara juga diketahui menjalankan politik ekspansi ke luar Jawa sejak 1275 (Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, 2006: 112-113).
Dari sini, dapat diinterpretasikan bahwa ayah biologis ABADS merupakan kesatria yang ikut dalam ekspedisi Singasari ketika menyusuri Sungai Mahakam untuk misi ekspansi. Dalam konteks Kalimantan, ekspansi Singasari bisa bermakna konsolidasi untuk mengantisipasi kemungkinan invasi dari Mongol.
Pada kisaran 1280-an, di antara rombongan Singasari terdapat kesatria yang singgah dan menetap di lokasi yang kelak bernama Kutai. Lokasinya saat itu masih bernama Nusantara yang merujuk gugusan pulau kecil di muara Sungai Mahakam. Toponimi Nusantara di timur Kalimantan sebelum berganti nama Kutai ini diungkap sejumlah ilmuwan antara lain SW Tromp (Uit de Salasila van Koetei, 1888: 5), SC Knappert (Beschrijving Van De Onderafdeeling Koetei, 1905: 1), dan CA Mees (De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting, 1935: 9).
Penting dijelaskan lagi bahwa terminologi Kutai sebagai nama kerajaan baru muncul pada pengujung abad ke-13. Kutai saat itu merujuk monarki yang berdiri di hilir Sungai Mahakam. Eksistensi Kutai yang menjadi kesultanan Islam pada 1732 dan berpindah ibu kota ke Tenggarong pada 1782, linier dengan berdirinya Samarinda sebagai market city bagi Kutai (Studi Historis Asal-Usul Nama Kota Samarinda, 2024: 1-13)
Adapun kerajaan yang sumber sejarahnya dari prasasti yupa abad ke-5 di hulu Sungai Mahakam, namanya bukan Kutai. Kerajaan Hindu tertua yang berpusat di Muara Kaman ini, setelah melalui kajian akademik, diketahui adalah Martapura. Kerajaan yang dipimpin Kundungga, Aswawarman, dan Mulawarman ini berbeda dengan Kota Martapura di Kalimantan Selatan (Kajian Etimologis Kerajaan (Kutai) Martapura di Muara Kaman, Kalimantan Timur, 2020, 50-61).
Baca juga: Youtuber Aurel Valen Bilang Kerajaan Kutai Itu Tidak Ada
Kembali ke interpretasi sebelumnya, aristokrat Singasari yang menetap di Nusantara-Kutai kemudian menikah dengan perempuan setempat dan melahirkan ABADS. Mengapa Salasilah Kutai menyamarkan atau tidak mengungkap secara literally identitas orang tua ABADS? Terbuka peluang penafsiran bahwa sang bayi lahir dari ayah dan ibu yang tidak dalam ikatan pernikahan yang sah menurut tradisi setempat. Tafsiran ini sebagaimana berlaku untuk Ken Angrok, yang ternyata putra dari Tunggul Ametung (penguasa Tumapel), tetapi dari hubungan di luar nikah (Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, 2018: 261-272).
Dengan demikian, ABADS bukanlah pelarian dari Singasari. ABADS lahir dan tumbuh dewasa di tanah Kutai dari ibu yang merupakan perempuan lokal (insider). Salasilah Kutai bahkan secara tesktual menceritakan ritual erau untuk balita ABADS. Ini sekaligus menjawab bahan diskursus pertama dan kedua di atas.
Berikutnya, bahan yang ketiga, mengenai pendapat bahwa kerajaan-kerajaan di Kalimantan Timur tidak punya track record menginvasi kerajaan lain lewat serangan bersenjata. Pendapat itu tidak benar. Prasasti yupa--sebagai sumber sejarah yang diyakini paling autentik dan valid--menceritakan profil Mulawarman sebagai raja yang memperluas wilayah kekuasaannya melalui jalur penaklukan raja-raja lain. Kisah ini terukir dalam prasasti Muarakaman VII (Historipedia Kalimantan Timur: Dari Kundungga, Samarinda, hingga Ibu Kota Nusantara, 2024: 37).
Kerajaan Kutai Kertanegara, sementara itu, juga menginvasi daerah-daerah di pesisir timur Kalimantan, sampai Manubar di sisi utara dan Balikpapan di sisi selatan, untuk memperluas wilayah. Puncaknya adalah agresi militer Kerajaan Kutai Kertanegara ke Muara Kaman pada 1635. Riwayat ini tercatat dalam Salasilah Kutai. Mengenai Kesultanan Sambaliung dan Gunung Tabur, itu adalah kasus berbeda dalam sebuah entitas yang sama-sama muslim di lokalitas yang semula tunggal.
Diskursus keempat yaitu pendapat bahwa Majapahit lebih menyukai Kutai Kertanegara ketimbang Martapura, karena raja Kutai Kertanegara adalah keturunan Singasari, sebagaimana Majapahit yang juga keturunan Singasari. Pendapat ini ada benarnya. Jadi, tidak perlu disanggah.
Majapahit memang lebih support kepada Kutai Kertanegara karena faktor persamaan genealogis. Namun demikian, hubungan Majapahit dan Kutai bukanlah relasi antara penjajah dan jajahan. Klaim Nagarakretagama tentang Kutai sebagai satu dari daerah taklukan (vasal) Majapahit dapat diperdebatkan. Peneliti dan ahli tafsir Nagarakretagama, Slamet Muljana, sebenarnya tidak menganggap Majapahit melakukan kolonialisme ke daerah-daerah di Kepulauan Nusantara. Tidak ada aparat militer Majapahit yang ditempatkan di daerah-daerah. Dari perspektif Majapahit, pemberian dari daerah hanya dianggap upeti dan simbol pengakuan superioritas Majapahit (Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, 2006: 162-164). Dari perspektif daerah, khususnya Kutai, hadiah untuk Majapahit itu sebagai tanda persahabatan (Histori Kutai, 2023 : 97).
Salasilah Kutai menceritakan riwayat kunjungan studi tiru kebudayaan oleh Raja Kutai ke Majapahit pada era Patih Gajah Mada. Begitu selesai, Raja Kutai pulang dengan membawa hadiah sebuah pintu khas Jawa tanpa diikuti petugas Majapahit. Jadi, tidak ada perwakilan pejabat Majapahit di Kutai. Dapat dikonklusikan bahwa relasi Kutai dan Majapahit adalah hubungan bilateral yang setara. Kutai bukan taklukan Majapahit. Majapahit bukan penakluk Kutai. (*)
Baca juga: Histori Kutai dalam Perspektif Kaum Muda
Senarai Kepustakaan
Boechari. 2018. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Knappert, S.C. 1905. "Beschrijving Van De Onderafdeeling Koetei." Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde. Volume 58, Issue 1, 575-654.
Mees, Constantinus Alting. 1935. De Kroniek van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting. Santpoort: N.V. Uitgeverij.
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: LkiS.
Onghokham. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan.
Sarip, Muhammad. 2020. "Kajian Etimologis Kerajaan (Kutai) Martapura di Muara Kaman, Kalimantan Timur." Yupa: Historical Studies Journal. 4, (2), 50-61. doi.org/ 10.30872/yupa.v4i2.264.
Sarip, Muhammad; Nandini, Nabila. 2021. "Islamisasi Kerajaan Kutai Kertanegara Abad Ke-16: Studi Historiografi Naskah Arab Melayu Salasilah Kutai." Yupa: Historical Studies Journal. 5 (1), 33-45. doi.org/10.30872/yupa.v5i1.573.
Sarip, Muhammad. 2023. Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
Sarip, Muhammad; Sheilla, Nanda Puspita. 2024. Historipedia Kalimantan Timur: Dari Kundungga, Samarinda, hingga Ibu Kota Nusantara. Samarinda: RV Pustaka Horizon.
Sheilla, Nanda Puspita; Sarip, Muhammad. 2024. "Studi Historis Asal-Usul Nama Kota Samarinda." Jurnal Riset INOSSA. 6 (2), 1-13. doi.org/10.54902/jri.v6i02.164.
Thahir, Khatib Muhammad. 1849. Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. (Aksara Arab Melayu).
Tromp, S.W. 1888. Uit de Salasila Van Koetei. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.