kaltimkece.id Sabuk hijau dari Bendungan Samboja di Kutai Kartanegara masuk wilayah konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Balai Wilayah Sungai III Kalimantan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, adalah pengelola bendungan tersebut. Sebagai pengelola, Balai telah mengirim enam surat berisi laporan galian batu bara yang diduga ilegal di sekitar bendungan.
Masyarakat setempat juga berkali-kali memprotes kegiatan tersebut. Bagaimanapun, bendungan milik negara yang dibangun pada 1955 ini adalah sumber air bersih 1.900 warga Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja. Pengairan 450 hektare sawah warga juga berasal dari waduk tersebut.
Adapun di sekujur kawasan Tahura, setidaknya tiga institusi negara memiliki kewenangan dalam urusan penegakan hukum. Ketiganya adalah UPTD Tahura Bukit Soeharto dari Dinas Kehutanan Kaltim, kepolisian, dan terakhir adalah Balai Penegakan Hukum dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ketiga instansi ini telah memberikan pernyataan kepada kaltimkece.id sehubungan tambang ilegal dan pembakaran alat berat oleh warga.
Kepala Seksi Perlindungan Hutan, UPTD Tahura Bukit Soeharto, Dishut Kaltim, Gazali Rahman, membeberkan yang terjadi di kawasan itu. Ia mengatakan, warga telah bertahun-tahun memprotes aktivitas ilegal. Keberatan masyarakat tersebut, lanjutnya, tidak diiringi respons tegas dari aparat penegak hukum.
"Itulah yang berujung pembakaran sebuah alat berat. Keselamatan warga kini semakin terancam. Mereka berpotensi gagal panen, dibayang-bayangi kemungkinan waduk jebol, dan kini diintimidasi oleh preman," terangnya kepada kaltimkece.id, Jumat, 3 April 2020.
Sebelumnya, Kepala Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Wahidin, terkejut ketika tiga pesan singkat bertubi-tubi masuk ke telepon genggamnya. Ketika pesan itu datang, ketika Wahidin bersama warga baru saja selesai mengadakan aksi protes yang berujung pembakaran alat berat, Selasa, 31 Maret 2020.
Wahidin segera membaca pesan tersebut. Isinya bernada ancaman. Diduga kuat, pesan pendek itu dikirim oleh laki-laki yang mengaku bos tambang, yang memaki-maki warga di lokasi kejadian. Pengirimnya mengancam memerkarakan warga yang telah membakar alat berat.
Wahidin mengaku waspada. Ia tidak gentar dengan ancaman tersebut. Lagi pula, seluruh warga desa telah menyatakan sikap yang sama, menolak aktivitas ilegal. Yang mereka perbuat murni niat baik melindungi hajat hidup orang banyak.
“Kami hanya ingin desa ini aman. Kegiatan tambang ilegal itu tak ada lagi,” tutur pria 40 tahun tersebut.
Bukan hanya kepala desa, Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, Anang Muchlis, mengaku bawahannya yang menjaga Bendungan Samboja menerima intimidasi. Ancaman itu disebut berasal dari oknum penambang ilegal di area waduk. Anang memerintahkan bawahannya tak menggubris.
Anang berharap aparat penegak hukum konsisten memberantas aktivitas membahayakan ini. Jangan sampai konflik horizontal terjadi hanya karena mempertahankan sumber daya air. Jika bendungan sampai jebol, kerusakan aset negara akan menimbulkan kerugian luar biasa. Biaya membangun bendungan dengan kapasitas sebesar Waduk Samboja, sebut Anang, diperkirakan menghabiskan Rp 700 miliar.
Tiga Pemain Besar
Kembali ke Gazali dari UPTD Tahura, ia menambahkan bahwa aktivitas ilegal menggali emas hitam di kawasan Tahura, termasuk sabuk hijau Bendungan Samboja, adalah rahasia umum. Para penambang disebut bisa bekerja karena memiliki perlindungan.
“Ya, Anda tahu sendiri siapa di belakang mereka. Saya tidak mau sebutkan (nama-namanya) karena nanti dibilang menuduh,” kata Gazali. Ia mengaku khawatir terlilit pencemaran nama baik. “Yang patut dicatat, menurut informasi, ada tiga pemain besar di sana,” bebernya.
UPTD Tahura Bukit Soeharto mengaku, tak bisa berbuat banyak mengawasi kawasan seluas 60 ribu hektare itu. Gazali berdalih, sumber daya pengawas keamanan termasuk penegakan hukum sangat kurang. UPTD hanya berpatroli kawasan. Anehnya, ketika mengadakan operasi penangkapan aktivitas tambang ilegal, acap kali bocor. Kalaupun berhasil, polisi hutan yang bekerja di UPTD Tahura Bukit Soeharto tak bisa berbuat banyak.
"Kami tidak memiliki PPNS (penyidik pegawai negeri sipil). Senjata (api) pun tidak punya. Itulah kelemahan kami,” ujarnya.
Dalam segala keterbatasan itu, Gazali mengutarakan, selama 2019-2020, tak seorang pun pelaku penambangan batu bara ilegal di Tahura yang berhasil mereka seret ke meja hijau. UPTD akhirnya hanya fokus mengambil langkah pencegahan dengan membentuk masyarakat mitra polisi kehutanan di desa yang bersinggungan dengan Tahura. Kemitraan ini untuk menyuplai informasi dan ikut menjaga kawasan dari aktivitas ilegal. (*)
Editor: Fel GM
Baca juga reportase "Gali Perkara di Tengah Corona" berikutnya di bawah ini:
1. Warga Bakar Alat Berat, Penambang Balik Mengancam
2. Warga yang Bakar Alat Berat Tak Bisa Serta-Merta Dihukum
3. Diduga Ada Tiga Pemain Besar di Balik Tambang Ilegal Samboja
4. Ditindak selepas Pandemi, Polisi Periksa Tiga Saksi