kaltimkece.id Sebuah galian batu bara yang diduga ilegal di tengah pandemi Covid-19 menimbulkan perkara. Aktivitas di Bendungan Samboja, Kutai Kartanegara, itu, disebut sudah berjalan selama tiga tahun. Tak kurang warga dan pengelola waduk melaporkannya. Masyarakat setempat yang jengah akhirnya membakar sebuah alat berat ketika menangkap basah aktivitas tersebut, Selasa, 31 Maret 2020.
Dalam masalah ini, ada dua peristiwa yang bertautan erat. Pertama, melenggangnya aktivitas tambang yang diduga ilegal selama bertahun-tahun. Kedua, kemarahan masyarakat dalam wujud pembakaran sebuah ekskavator.
Akademikus dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, memberikan pandangannya. Dosen yang akrab disapa Castro ini mengatakan, peristiwa kedua tidak mungkin terjadi andaikata pihak berwenang mampu menyelesaikan peristiwa pertama. Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api.
"Yang disayangkan jika penegak hukum lebih memilih mengurusi asap daripada mencari sumber apinya," kata Castro kepada kaltimkece.id, Jumat, 3 April 2020.
Castro menyatakan hal itu tidak lepas dari fakta bahwa pengelola bendungan yakni Balai Wilayah Sungai III Kalimantan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sudah enam kali bersurat. Balai Wilayah Sungai III melaporkan situasi bendungan, termasuk dugaan tambang ilegal, kepada Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Kaltim.
Surat terakhir dibuat pada 1 April 2020. Isinya adalah laporan aktivitas penambangan yang diduga ilegal di sabuk hijau bendungan. Galian tersebut tepat di bibir waduk.
Ditilik dari kacamata hukum positif, jelas Castro, merusak barang milik orang lain seperti membakarnya memang tidak dibenarkan. Namun demikian, lanjut dia, hukum bukan sekadar norma dan aturan. Ada nilai keadilan yang patut dipertimbangkan. Para petani membakar alat berat bukan tiba-tiba. Warga setempat jengah karena bendungan sebagai fasilitas untuk hajat hidup masyarakat itu dirusak. Sayangnya, lanjut dia, tidak ada langkah tegas dari penegak hukum kendati sudah dilaporkan berulang kali.
"Jika penegakan hukum lemah dan tidak memberi efek jera kepada pelaku (penambang ilegal), kejadian serupa (pembakaran) bakal terus berulang. Lingkungan semakin rusak, keselamatan warga terancam," ingatnya.
Castro menambahkan, aktivitas tambang di sekitar bendungan yang terus berjalan tentu menimbulkan purbasangka. Publik dengan mudah mengambil kesimpulan adanya main mata di antara penambang dan pemegang wewenang.
"Bisa jadi, para penambang ilegal cenderung berani karena merasa memiliki beking yang kuat dari pemilik kuasa, termasuk aparat penegak hukum,” duga Castro.
Akademikus yang sedang menyelesaikan program doktoral di Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, ini, menyarankan tiga hal. Pertama, pengawasan di sekitar bendungan dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto diperketat. Patroli reguler di Tahura harus konsisten. Jangan sampai, tiba masa tiba akal. Patroli hanya ketika ada kasus.
Yang kedua adalah keseriusan penegakan hukum dengan memberi pidana berat kepada penambang ilegal. Sementara yang ketiga, mencari aktor intelektual. Orang yang dihukum adalah yang benar-benar bertanggung jawab, bukan sekadar pekerja di lapangan.
Ada dua regulasi sektoral yang bisa digunakan aparat dalam menjerat penambangan batu bara ilegal di kawasan konservasi. Castro mengatakan, yang pertama adalah Undang-Undang 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Ketentuan pidana terhadap aktivitas tambang ilegal diatur rigid dalam Pasal 158. "Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 10 miliar rupiah."
Beleid yang kedua ialah UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air. Pasal 68 undang-undang ini beramanat, "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan terhadap sumber air dan prasarananya dan/atau pencemaran air, atau melakukan kegiatan yang mengakibatkan terjadinya daya rusak air, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan denda paling sedikit 5 miliar rupiah dan paling banyak 15 miliar rupiah."
“Regulasi yang tersedia sesungguhnya sangat memadai. Tinggal eksekusi atau proses penegakan hukumnya,” tutup Castro.
Kepolisian telah merespons peristiwa tersebut. Kepala Kepolisian Resor Kutai Kartanegara, Ajun Komisaris Besar Polisi Andrias Susanto Nugroho, mengatakan, sudah ada upaya hukum dalam perkara pembakaran alat berat pada 31 Maret 2020. Polisi juga berpatroli dan mengimbau masyarakat menjaga wilayah supaya kejadian tempo hari tak terulang.
“Intinya, kami proses kemarin. Sudah kami amankan satu eksavator. Kami periksa saksi, sudah ada tiga (saksi),” katanya.
Kepala Kepolisian Sektor Samboja, Inspektur Satu Reza Pratama R Yusuf, menambahkan informasi ketiga saksi tersebut. Mereka adalah Kepala Desa Karya Jaya, Wahidin; Ketua Badan Permusyawaratan Desa, Suhardi; dan Sukamto selaku petugas jaga Bendungan Samboja. Ketiganya akan dimintai keterangan awal mengenai peristiwa pembakaran alat berat.
Iptu Reza menyatakan, penyelidikan terus dikembangkan demi mencari penambang yang diduga ilegal itu. (*)
Editor: Fel GM
Baca juga reportase "Gali Perkara di Tengah Corona" berikutnya di bawah ini:
1. Warga Bakar Alat Berat, Penambang Balik Mengancam
2. Warga yang Bakar Alat Berat Tak Bisa Serta-Merta Dihukum
3. Diduga Ada Tiga Pemain Besar di Balik Tambang Ilegal Samboja
4. Ditindak selepas Pandemi, Polisi Periksa Tiga Saksi