kaltimkece.id Mesin alat berat menderu-deru di bibir Bendungan Samboja ketika warga telah siap untuk beristirahat. Sedari siang hingga jauh malam itu, raungan ekskavator dan buldoser yang menggali batu bara terus terdengar. Seluruh warga tahu, aktivitas itu ilegal alias tanpa izin karena masuk wilayah konservasi Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.
Keesokan harinya, Selasa, 31 Maret 2020, ketika matahari tegak lurus di atas kepala, ratusan warga Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, mendatangi tempat penggalian. Mereka sebagian besar adalah petani yang berinisiatif menghentikan aktivitas tersebut. Warga sudah jengah dengan penambangan batu bara yang bisa merusak bendungan dan menimbulkan malapetaka itu.
Untuk tiba di lokasi, warga harus naik perahu. Namun jumlah perahu terbatas sehingga hanya 40-an orang dari mereka yang menyeberangi waduk tersebut. Setibanya di tempat galian, ke-40 petani ini melihat tujuh ekskavator dan satu buldoser sedang menggali emas hitam.
“Mereka menambang di bibir waduk. Betul-betul di bibir karena sudah tidak ada jarak lagi dengan bendungan,” tegas Kepala Pengurus Pengelola Air Bersih Bendungan Samboja, Suhardi, kepada kaltimkece.id, Selasa, 31 Maret 2020.
Warga yang datang dengan tangan hampa segera menghentikan aktivitas tersebut. Mereka menyita kunci alat berat. Delapan operator dikumpulkan dan didata. Para pengemudi alat berat ini, dari kartu identitas mereka, berdomisili di Kukar dan Samarinda.
Pada saat warga masih sibuk mendata, api tiba-tiba muncul dari sebuah eksavator yang terparkir di lahan tersebut. Rupanya, sebagian warga yang emosi membakar alat berat tersebut. “Kami tidak tahu persis siapa yang membakar. Peristiwa itu tidak direncanakan. Yang jelas, kami emosi melihat banyak alat berat di bibir waduk,” lanjut Suhardi.
Di tengah kekacauan itu, seorang pria yang mengaku bertanggung jawab di tambang tersebut datang. Lelaki itu segera memaki-maki para petani.
“Kalau memang mau menutup tambang ilegal, semua tambang di Samboja tutup juga. Jangan (tambang) saya saja,” ucap laki-laki itu seperti ditirukan Suhardi. Warga tidak menanggapinya. Mereka meninggalkan lokasi sembari membawa kunci alat berat.
Bendungan Rawan Jebol
Bendungan Samboja dibangun pada 1955 dan selesai pada 1959. Waduk dengan daerah tangkapan air 22 kilometer persegi ini adalah sumber air bersih. Air minum dari 450 kepala keluarga dengan 1.900 jiwa di Desa Karya Jaya berasal dari waduk ini. Selain itu, 450 hektare sawah warga juga diairi waduk berkapasitas 5 juta liter kubik tersebut.
Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Anang Muchlis, membenarkan aktivitas penambangan batu bara ilegal di tepi waduk. Kawasan yang ditambang sejak 2016 itu berstatus sabuk hijau. Anang khawatir, jika masalah ini dibiarkan, bendungan bisa jebol. Permukiman warga bisa tersapu air bah.
"Sejak ditambang, sabuk hijau di bibir waduk terkikis. Padahal, fungsi area ini adalah penyaring alami air hujan dari hulu Sungai Serayu," terangnya kepada kaltimkece.id.
Jika lapisan ini hilang, sambung Anang, air yang tidak disaring akan bercampur endapan lumpur dan masuk ke bendungan. Kondisi itu mengakibatkan kekuatan bendungan menurun. Faktanya, kestabilan struktur tubuh dan pintu air telah berkurang setelah muncul keretakan. Pendangkalan ditemukan di beberapa titik di hulu dan tengah waduk.
"Jika sampai jebol, itu malapetaka," tutur Anang, bergidik membayangkan hal tersebut.
Aktivitas pertambangan menambah runyam. Kegiatan yang diduga ilegal itu disebut telah mengirim limbah bekas galian batu bara ke dalam bendungan. Anang membeberkan, tingkat keasaman air semakin pekat karena bercampur logam berat. Saat ini, pH air sudah di angka 5 dari angka netral yaitu 7. Kadar air sedemikian disebut berbahaya karena bendungan adalah sumber bahan baku air bersih. Kandungan logam berat juga berisiko bagi sawah petani.
“Kalau 5 juta kubik ini mengalir ke bawah (desa) karena bendungan jebol, masyarakat desa di hilir bendungan habis semua. Di tragedi Situ Gintung, itu hanya 600 ribu kubik, 90 orang meninggal tersapu bah. Kami khawatir itu terjadi di sini (Bendungan Samboja),” tutur Anang.
Sudah Surati Presiden
Kepala Desa Karya Jaya, Wahidin, ingat benar orang yang memaki-maki para petani di lokasi kejadian. Laki-laki yang disebut bos tambang itu tinggal di desa tetangga yang masih di Kecamatan Samboja. Si bos pernah bertandang ke rumah Wahidin pada 25 Maret 2020.
“Dia ingin menambang di atas (bibir Bendungan Samboja). Kami dijanjikan berbagai bantuan," terang Wahidin. Kades ini didampingi Suhardi selaku Kepala Pengurus Pengelola Air Bersih Bendungan Samboja ketika melayani wawancara kaltimkece.id.
Mendapat penolakan dari tuan rumah, si bos sempat membawa keluar alat berat. Keesokan harinya, alat berat kembali beroperasi. "Padahal mereka sempat diingatkan polisi hutan dari Balai Penegakan Hukum KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Kalimantan akhir Maret 2020. Mereka diminta tidak beroperasi," terang Suhardi.
Tidak ada yang ditahan karena masih peringatan. Menurut Suhardi, peringatan tersebut berhubungan dengan pandemi Covid-19 sehingga ada anjuran untuk tidak berkumpul.
Kehadiran satuan polisi khusus kehutanan disebut sebagai respons atas surat warga Desa Karya Jaya kepada Presiden Joko Widodo. Surat itu dikirim 28 Oktober 2019. Warga meminta presiden turun menyelamatkan aset negara dari penambang batu bara ilegal. Aktivitas ini disebut membahayakan ribuan jiwa.
Suhardi melanjutkan, kepala negara merespons dengan menerjunkan staf khusus dari KLHK. Sebuah pertemuan diadakan di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kaltim. Pertemuan itu ditindaklanjuti Balai Penegakan Hukum KLHK Kalimantan untuk menertibkan aktivitas tersebut.
Balai Wilayah Sungai III Kalimantan selaku pihak berwenang terhadap bendungan tersebut juga berkali-kali bersurat ke berbagai instansi penegak hukum. Sedikitnya, tiga kali aparat penegak hukum turun ke lokasi. Namun demikian, para penambang makin berani menggaruk batu bara.
Bos Tambang Balik Mengancam
Wahidin terkejut ketika tiga pesan singkat bertubi-tubi masuk ke telepon genggamnya. Ketika pesan itu datang, Kepala Desa Karya Jaya itu baru saja menyelesaikan aksi protes bersama warga yang berujung pembakaran alat berat.
Wahidin segera membaca pesan tersebut. Isinya bernada ancaman. Diduga kuat, pesan pendek itu dikirim oleh laki-laki yang mengaku bos tambang, yang memaki-maki warga di lokasi kejadian. Pengirimnya mengancam memerkarakan warga yang telah membakar alat berat.
Wahidin mengaku waspada. Ia tidak gentar dengan ancaman tersebut. Lagi pula, seluruh warga desa telah menyatakan sikap yang sama, menolak aktivitas ilegal. Yang mereka perbuat murni niat baik melindungi hajat hidup orang banyak.
“Kami hanya ingin desa ini aman. Kegiatan tambang ilegal itu tak ada lagi,” tutur pria 40 tahun tersebut.
Bukan hanya kepala desa, Kepala Balai Wilayah Sungai Kalimantan III, Anang Muchlis, mengaku bawahannya yang menjaga Bendungan Samboja menerima intimidasi. Ancaman itu disebut berasal dari oknum penambang ilegal di area waduk. Anang memerintahkan bawahannya tak menggubris.
Anang berharap aparat penegak hukum konsisten memberantas aktivitas membahayakan ini. Jangan sampai konflik horizontal terjadi hanya karena mempertahankan sumber daya air. Jika bendungan sampai jebol, kerusakan aset negara akan menimbulkan kerugian luar biasa. Biaya membangun bendungan dengan kapasitas sebesar Waduk Samboja, sebut Anang, diperkirakan menghabiskan Rp 700 miliar.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradharma Rupang, menilai aksi penambang ilegal sudah kelewat batas. Rupang memandang, petani Samboja yang terlibat aksi pembakaran tidak bisa dipidanakan atau digugat perdata. Dasarnya adalah pasal 66 Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal itu berbunyi, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Rupang mendesak aparat penegak hukum menindak pelaku. Sudah amat jelas, kegiatan tersebut adalah pelanggaran pidana lingkungan karena masuk area konservasi Tahura.
"Aparat penegak hukum harus berani membongkar seluruh jaringan penambang batu bara ilegal di Tahura Bukit Soeharto. Mulai pemasok alat berat, pemodal tambang, konveyor, penjualan, sampai pembeli barang haram itu," pinta Rupang.
Konfirmasi Pihak Berwenang
Kepala Bidang Humas Polda Kaltim, Komisaris Besar Polisi Ade Yaya Suryana, mengatakan bahwa kepolisian menertibkan semua pelanggaran hukum tanpa toleransi. Khusus kejadian ini, Polda berkoordinasi dengan Polres Kukar.
"Informasi teknisnya ada di Polres Kukar," jelasnya.
Kepala Seksi II Penegakan Hukum KLHK Kalimantan, Annur Rahim, membenarkan bahwa jajarannya sempat memerintahkan penambang ilegal di Bendungan Samboja untuk tidak beroperasi. Perintah itu turun pada akhir Maret 2020. Pelaku belum ditahan karena ada kebijakan pusat mengenai protokol antisipasi penyebaran Covid-19. Meskipun demikian, tegas Annur, KLHK komit menindak penambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto.
Diperlukan komitmen kuat dari berbagai pihak, sambung Annur, untuk menuntaskan karut-marut penambangan di Tahura. Sebagai contoh, pemangku kawasan UPTD Tahura Bukit Soeharto mengadakan patroli maupun mengaktifkan pos jaga. Harus ada koordinasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim, kepolisian, dan kesyahbandaran.
“Kami sedang mendata penambang itu. Tak bisa kami menindak satu per satu. Setelah ini, kami tindaklanjuti dengan penegakan hukum,” janji Annur Rahim. (*)
Editor: Fel GM
Baca juga reportase "Gali Perkara di Tengah Corona" berikutnya di bawah ini:
1. Warga Bakar Alat Berat, Penambang Balik Mengancam
2. Warga yang Bakar Alat Berat Tak Bisa Serta-Merta Dihukum
3. Diduga Ada Tiga Pemain Besar di Balik Tambang Ilegal Samboja
4. Ditindak selepas Pandemi, Polisi Periksa Tiga Saksi